Thursday, December 13, 2007

Pengertian Ontologi
1. Ontologi berasal dari kata onto yang berarti wujud (being) dan logi yang artinya ilmu jadi ontologi berarti ilmu tentang wujud atau ilmu tentang hakekat kenyataan (Van Cleve Morris, Akses 2007).
2. Ontologi atau metafisika umum ialah cabang ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu (obyek) yang dipelajari ilmu tertentu, cabang ini dijalankan untuk menghasilkan defenisi (Nina Winangsih Syam,Akses 2007).
3. Ontologi adalah membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya keberadaan alam semesta, mahkluk hidup, atau tata surya (Wikipedia Indonesia, Akses 2007).
4. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang telah dalam membuahkan pengetahuan(Jujun S. Suriasumatri,1999).
5. Ontologi mempersoalkan tentang esensi dari yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada. (Burhanuddin Salam, 2003).
6. Ontologi adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas.(Kelompok III, 2007)










BAB I
TINJAUAN ONTOLOGI
1.1 Kerangka Teoritis
1.1.1 Hakikat IPA Biologi dan Pengajarannya
IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya produk saja, akan tetapi juga mencakup pengetahuan seperti keterampilan, keingintahuan, keteguhan hati dan juga keterampilan dalam hal melakukan penyelidikan ilmiah. Para ilmuwan IPA dalam mempelajari gejala alam, menggunakan proses dan sikap ilmiah. Proses ilmiah yang dimaksud misalnya melalui pengamatan, eksperimen dan analisis yang bersifat rasional. Sedang sikap ilmiah misalnya objektif dan jujur dalam mengumpulkan data yang diperoleh. Dengan menggunakan proses dan sikap ilmiah itu sains memperoleh penemuan-penemuan atau produk yang berupa fakta, konsep, prinsip dan teori.
Carin (1993) menyatakan, bahwa IPA sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori IPA. Jadi pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga kompenen yaitu sikap, proses ilmiah dan produk ilmiah. Hal ini berarti, bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dihafal. IPA juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat direnungkan. IPA menggunakan apa yang telah diketahui sebagai batu loncatan untuk memahami apa yang belum diketahui. Suatu masalah IPA yang telah dirumuskan dan kemudian berhasil dipecahkan akan memungkinkan IPA untuk berkembang secara dinamis. Akibatnya kumpulan pengetahuan sebagai produk juga bertambah.
Biologi sebagai salah satu cabang IPA memfokuskan pembahasan pada masalah-masalah biologi di alam sekitar melalui proses dan sikap ilmiah. Sebagai cabang IPA, maka dalam pembelajaran biologi berpatokan pada pembelajaran yang berorientasi pada hakikat IPA yang meliputi produk, proses dan sikap ilmiah melalui keterampilan proses.
Berdasarkan uraian di atas jelas, bahwa pembelajaran IPA biologi lebih menekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori dan sikap ilmiah di pihak siswa yang dapat berpengaruh positif terhadap kualitas maupun produk pendidikan.
Kenyataan menunjukkan sebaliknya, di mana pembelajaran biologi selama ini lebih banyak menghafalkan fakta, prinsip, dan teori saja. Karena itu, agar proses pembelajaran biologi dapat lebih efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan suatu strategi pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan dan menerapkan ide-ide tersebut.

1.1.2 Teori-Teori Pendukung Pembelajaran Kooperatif
Teori-teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan dikelompok¬kan dalam constructivist teory of learning. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky dan teori-teori pemrosesan informasi. Ide pokok teori ini adalah siswa secara aktif mem¬bangun pengetahuan mereka sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran menyata¬kan, bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalan belajar secara sadar sedangkan guru membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 1995).
a.Teori Piaget
Piaget menyatakan, bahwa anak membangun sendiri skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Teori ini berpendapat bahwa guru berperan sebagai fasilitator bukan sekedar pemberi informasi (Ningsih, 2005).
b. Teori Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah kopi apa yang mereka temukan didalam lingkungan, tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa. Menurut teori Vygotsky siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran (Ningsih, 2005).

1.1.3 Aktivitas Belajar
Proses pembelajaran yang dilakukan dalam kelas, merupakan aktivitas mentrans¬formasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Menurut Hamalik (2003) di dalam diri se¬seorang terdapat prinsip aktif, yaitu keinginan untuk berbuat dan bekerja sendiri. Prinsip aktif inilah yang mengendalikan perilaku siswa (Yamin, 2004).
Menurut Depdiknas (2002), aktif berarti:
a. Siswa tidak menanggapi perintah guru secara pasif tetapi sebaliknya mereka menyadari hakikat dan maksud pekerjaan yang mereka sedang lakukan.
b. Siswa termotivasi untuk belajar. Mereka mengerti “apa”, “bagaimana”, dan “mengapa” tentang sesuatu.
c. Siswa mengajukan pertanyaan. Mereka bebas untuk meminta bantuan dan bimbingan serta mengajukan pertanyaan mengapa.
d. Siswa berinteraksi seorang dengan yang lain dan dengan guru.
Pembelajaran yang dilakukan antara guru dan siswa, harus mengacu pada peningkatan aktivitas. Guru tindak hanya melakukan kegiatan menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada siswa, akan tetapi harus mampu membawa siswa aktif dalam berbagai bentuk belajar, berupa belajar menemukan, belajar mandiri, belajar berkelompok, belajar me¬mecah¬¬kan masalah dan sebagainya.
Raka Joni (1992) (dalam Yamin, 2004) menjelaskan, bahwa peran aktif dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala:
a. Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa
b. Guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar
c. Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan kreativitas siswa dan menciptakan siswa yang kreatif serta mampu menguasai konsep.
Beragam aktivitas dalam proses pembelajaran dapat dilakukan. Menurut Paul D. Dierich (dalam Yamin, 2004) membagi aktivitas belajar dalam delapan kelompok, yaitu:
a. Kegiatan lisan (oral), seperti mengemukakan fakta atau prisip, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara dan diskusi.
b. Kegiatan visual, seperti membaca, melihat gambar-gambar, mengamati, bereksperimen
c. Kegiatan mendengar, seperti mendengarkan penyajian bahan, diskusi kelompok dan mendengarkan radio.
d. Kegiatan menulis, seperti menulis cerita, laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman dan mengerjakan tes.
e. Kegiatan menggambar, seperti menggambarkan, membuat grafik, bagan, diagram peta dan pola.
f. Kegiatan metric, seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, dan belajar berperan
g. Kegiatan mental, seperti merenungkan, mengingatkan, memcahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan
h. Kegiatan emosional, seperti minat, membedakan, berani dan tenang.

1.1.4 Model Pembelajaran Diskusi
Pembelajaran diskusi adalah perlibatan satu ke¬lompok belajar yang saling berinteraksi secara verbal di dalam kelas di mana interaksi yang dimaksud berlangsung antara siswa atau siswa dengan guru.
Menurut Ahmadi (2004) metode diskusi merupakan metode yang dapat dipandang sebagai salah satu metode pengajaran yang efektif untuk kelompok kecil, dan metode diskusi menunjukkan efektivitas untuk berpikir secara kritis, pemecahan masalah dan komunikasi pribadi.
Dalam berdiskusi yang menjadi pemimpin diskusi tidak hanya guru, tetapi lebih baik jika guru membimbing siswa agar mampu memimpin diskusi, sehingga karenanya guru dapat dikatakan berhasil. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan dalam kurikulum 2004, di mana guru hanya bersifat sebagai desainer (fasilitator) yang mendesain pengalaman belajar agar siswa dapat mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan di dalam kurikulum.
Model pembelajaran diskusi dapat digunakan untuk mempelajari semua mata pelajaran di sekolah. Langkah-langkah dalam model pembelajaran diskusi ini mencakup lima tahap (Arends, 1997), yaitu:
Tahap pertama : menyampaikan TPK dan membangkitkan motivasi
Tahap kedua : memfokuskan diskusi
Tahap ketiga : mengendalikan diskusi
Tahap keempat : mengakhiri diskusi
Tahap kelima : mengikhtisarkan diskusi

1.1.5 Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.
Menurut Lungdren (1994), unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Para siswa harus memiliki persepsi, bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”
2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi
3. Para siswa harus berpandangan, bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama
4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab yang akan ikut berpengaruh ter¬hadap evaluasi kelompok
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi
6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar
7. Setiap siswa akan diminta mempertanggung-jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif
Menurut Thomson, dkk. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.

b. Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah: (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antar siswa, (c) setiap anggota bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).

c.Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin,1995).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, dkk. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan tes, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidak¬mampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan saling belajar, saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

d. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada tabel 2.1



Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase1:
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan pada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan mebantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5:
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentsikan hasil kerjanya.

Fase 6:
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

e. Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
Walaupun prinsip dasar dalam pembelajaran tidak berubah, terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif (Arends, 2001), yaitu:
1. Student Teams Achievement Division (STAD)
2. Investigasi kelompok
3. Pendekatan Struktural
4. Jigsaw
1.1.6 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dkk di Universitas Jhon Hopkins (Arends, 2001).
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pem¬belajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, 2004). Para anggota dari tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan ke¬lompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Kelompok ahli merupakan gabungan dari beberapa ahli yang berasal dari kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 2001)








Gambar 2.1 Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw (hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli)

Pada anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Jigsaw di desain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya di akhir pembelajaran, siswa diberi kuis secara individu yang mencangkup topik meteri yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis dengan baik.
Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut: (1) pembagian tugas, (2) pemberian lembar ahli, (3) mengadakan diskusi, (4) mengadakan kuis. Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini diatur secara instruksional sebagai berikut (Slavin, 1995):
a. Membaca: masing-masing siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
b. Diskusi kelompok asal: hasil bacaan pada kegiatan individu selanjutnya didiskusikan di kelompok asal agar diperoleh pemahaman yang sama dari topik kajian yang dipelajari.
c. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikan topik tersebut.
d. Diskusi kelompok asal: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan topik pada kelompoknya.
e. Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencangkup semua topik.
f. Penghargaan kelompok: perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.
Strategi kooperatif tipe Jigsaw memiliki kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan metode Jigsaw, sebagaimana diutarakan oleh Ibrahim (2000), yaitu:
a. Karena masing-masing siswa diberi tanggung jawab peribadi kepada tiap kelompok, maka siswa dapat belajar bertanggung jawab dan lebih memahami batasan yang didiskusikan.
b. Mengajarkan siswa lebih kreatif dan tanggap.
c. Siswa lebih aktif untuk belajar.
d. Dapat menjalin kerjasama yang baik antara teman-teman, karena para siswa dihadapkan oleh tujuan-tujuan yang heterogen dalam kelompok asal dan kelompok ahli.
e. Memupuk sikap saling menghargai pendapat orang lain.
f. Hasil-hasil diskusi mudah dipahami dan dilaksanakan karena para siswa ikut aktif dalam pembahasan sampai kesuatu kesimpulan.
g. Dapat mempertinggi prestasi kepribadian individu seperti semangat toleransi, siswa yang demokratis, kritis dalam berfikir, tekun dan sabar.
Dan beberapa kelemahan metode Jigsaw (Ibrahim, 2000), yaitu:
a. Waktu yang dibutuhkan lebih banyak
b. Pada setiap pembagian kelompok biasanya siswa ribut dan kelas akan bising
c. Tidak dapat diterapkan pada semua pokok bahasan.
Pembelajaran Jigsaw adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang spesifik yang pernah mencapai sukses dalam tiga dekade. Pada pembelajaran dengan model Jigsaw, tiap siswa dikelompokkan dengan mekanisme tukar-menukar kelompok dan tiap anggota berperan penting dalam penguasaan materi secara menyeluruh dan menentukan produk akhir.
Berdasarkan pada paparan teori di atas memberikan indikasi, bahwa aktivitas belajar siswa akan dapat meningkat dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Di mana siswa-siswa dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok Jigsaw, sehingga setiap siswa diberi kesempatan untuk saling berinteraksi dan aktif dalam KBM. Dengan demikian setiap siswa menguasai setiap segmen pelajaran, yang pada gilirannya memberikan informasi sesama siswa dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar, sehingga semua siswa akan dapat menguasai segmen pelajaran yang ditetapkan.

2.1 Kerangka Konseptual
Mengacu pada paparan teori di atas, maka beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Biologi sebagai bagian dari IPA pada prinsipnya menekankan pada proses memperoleh ilmu dengan menemukan fakta-fakta, konsep-konsep, teori dan sikap ilmiah pada diri siswa. Karena itu, pelibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan, sehingga siswa dapat membangun sendiri pemahamannya tentang materi yang dipelajarinya.
2. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan lingkungan belajar di mana siswa belajar dalam kelompok kecil yang heterogen, untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, siswa akan terjalin komunikasi di mana siswa akan saling berbagi ide dan pendapat, saling mendiskusikan masalah-masalah dengan temannya, sehingga akan diperoleh keterlibatan dan tanggung jawab setiap siswa untuk belajar dan menginformasikan hasil belajar lainnya kepada sesama anggota kelompok. Dengan demikian siswa akan lebih mudah memahami konsep-konsep yang sulit, dapat meningkatkan daya nalar dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya.
3. Aktivitas belajar siswa adalah aktivitas yang dilakukan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung berupa aktivitas lisan, visual, mendengar, menulis, menggambar, mental dan emosional.
4. Hasil belajar siswa adalah kemampuan yang dicapai siswa setelah proses belajar mengajar. Hasil belajar tersebut adalah berupa skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti tes evaluasi.
5. Respon siswa adalah antusias dan tanggapan siswa terhadap penerapan pembelajaran strategi kooperatif tipe Jigsaw yang sedang dikembangkan.

2.3 Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang berhasil teridentifikasi berkaitan dengan penerapan metode diskusi dalam pembelajaran biologi yang selama ini diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah adalah sebagai berikut:
1. Kelompok siswa cenderung hanya mendalami dan mempelajari topik yang menjadi tugas diskusi yang dibebankan pada kelompoknya, sehingga penguasaan siswa terhadap materi yang lainnya kurang baik.
2. Kurangnya keaktifan siswa dalam berdiskusi, hanya beberapa siswa saja aktif.
3. Diskusi hanya berpusat pada siswa yang lebih pintar, sementara yang lainnya tidak aktif dalam melakukan diskusi
4. Kurangnya waktu yang digunakan untuk berdiskusi.








2.4.Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dihadapi dalam penerapan metode diskusi dalam pembelajaran biologi, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal berikut:
1. Subjek penelitian dibatasi pada siswa kelas XI (kelas II) MAN 1 Medan semester 2 tahun pelajaran 2007/2008.
2. Strategi kooperatif yang digunakan dan diintegrasikan dalam pembelajaran biologi menggunakan metode diskusi adalah kooperatif tipe Jigsaw.
3. Parameter penelitian yang diamati dibatasi pada: aktivitas diskusi yang dilakukan siswa, hasil belajar siswa pada aspek kognitif dan respon siswa terhadap strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2.5. Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada peningkatan keterlibatan siswa dalam belajar biologi dengan menerapkan strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?
2. Apakah ada peningkatan hasil belajar siswa dengan menerapkan strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?
3. Bagaimanakah respon siswa terhadap strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang diterapkan?










Pengertian Efistomologi
1. Epistemologi adalah ilmu tentang tahu dan pengetahuan (van cleve Morris, 2007).
2. Efistemologi adalah cabang filsafat ilmu yang menyelediki asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia. Singkatnya, cabang filsafat ilmu ini menjawab pertanyaan mengenai cara mendapatkan atau mencapai suatu pengetahuan tentang realitas sebagai sebuah ilmu. (Nina Winangsih Syam,Akses 2007).
3. Efistomologi berasal dari Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. (Wikipedia Indonesia, Akses 2007).
4. Efistemologi membahas cara untuk memdapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan atau disebut metode ilmiah. (Jujun S. Suriasumatri,1999).
5. Efistemologi erasal dari kata ”efisteme” berarti pengetahuan dan ”logos ” yang berarti teori. Sehingga padat disimpulkan persoalan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. (Burhanuddin Salam, 2003).
6. Efistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut.( Kelompok III, 2007).












BAB II
TINJAUAN EFISTEMOLOGI
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MAN 1 Medan, Jl. Williem Iskandar No. 7B Medan sejak tanggal 07 sampai 14 Januari 2008.

2.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA-3 MAN 1 Medan tahun pelajaran 2007/2008. Sampel penelitian untuk semua parameter penelitian menggunakan teknik sampel total.

2.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah terdiri dari variabel bebas yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan variabel terikat peningkatan aktivitas belajar siswa dan hasil belajar siswa.

2.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (classroom action research), rancangan penelitian yang digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian tindakan kelas yang disesuaikan dengan kondisi spesifik subjek penelitian dan kebutuhan pengukuran parameter penelitian
Langkah-langkah operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan survei ke sekolah tempat penelitian untuk memperoleh kesediaan guru mata pelajaran dan kelas yang akan menjadi sampel penelitian.
2. Menyusun rancangan penelitian tindakan kelas dalam tiga siklus dan tiap siklus masing-masing terdiri dari empat tahap sebagai berikut
1) Persiapan tindakan
2) Implementasi tindakan
3) Pemantauan dan evaluasi
4) Analisis dan refleksi








Revisi


Revisi


Revisi










Gambar 3.1. Siklus Rancangan Implemntasi Tindakan
Langkah-langkah pelaksanaan PTK ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan diuraikan sebagai berikut:
1) Persiapan Tindakan
Pada tahap persiapan tindakan peneliti melakukan beberapa aktivitas di antaranya:
• Mengidentifikasi; Pada setiap silabus perlu identifikasi yang meliputi identitas sekolah (MAN 1 Medan), identitas mata pelajaran, kelas/program dan semester.
• Melakukan analisis materi pelajaran, yakni pokok bahasan Sistem Koordinasi (Sistem Saraf dan Indera).
• Menyusun materi pelajaran, dalam hal ini materi pembelajaran disadur dari Buku Biologi 2 untuk sekolah Menengah Umum Kelas XI.
• Menyusun skenario pembelajaran biologi dengan mengintegrasikan strategi kooperatif tipe Jigsaw dalam bentuk satuan pelajaran (SP) dan rencana pembelajaran (RP).
• Menyusun alat evaluasi hasil belajar siswa.
• Menyusun instrumen penelitian :
Instrumen 01: Lembar pengamatan aktivitas siswa.
Instrumen 02: Angket respon siswa terhadap strategi kooperatif tipe Jigsaw yang digunakan dalam pembelajaran.
Instrumen 03: Perangkat soal evaluasi hasil belajar siswa.
2) Implementasi Tindakan
Sebelum memasuki tahap implementasi, terlebih dahulu dilakukan simulasi antara peneliti dengan observer. Simulasi ini bertujuan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dan observer. Tahap ini diketegorikan sebagai penelitian tindakan (action research) yang merupakan kelanjutan dari tahap pengembangan perangkat pembelajaran seperti silabus dan skenario pembelajaran. Pada tahap implementasi tindakan guru melakukan pembelajaran didalam kelas sesuai dengan silabus dan skenario pembelajaran yang telah disusun. Pada saat guru melaksanakan kegiatan pembelajaran observer melakukan observasi terhadap aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Penjelasan singkat dari masing-masing tahapan pada siklus tindakan sebagai berikut:
Tahap I : Refleksi Awal. Pada tahap ini yaitu pertemuan pertama guru menjalankan skenario pembelajaran yang telah disusun dan dilakukan pengamatan oleh observser yang berada agak berjauhan satu dan lainnya.
Tahap II : Perencanaan. Setelah selesai pembelajaran, dilakukan evaluasi untuk desain rancangan pembelajaran yang telah disusun. Dan hasil refleksi ini kemudian dijadikan pedoman untuk menyusun strategi desain pembelajaran pada pertemuan kedua.
Tahap III : Pelaksanaan Tindakan dan Pemantauan. Pada tahap ini merupakan kegiatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan perencanaan karena tahap ini merupakan implementasi dari hasil revisi skenario pembelajaran dan evaluasi berdasarkan pelaksanaan skenario pembelajaran pertama. Pada saat tindakan dilaksanakan, kegiatan pengamatan juga mulai dilakukan. (pelaksanaan pertemuan kedua).
Tahap IV : Perencanaan. Hasil dari pelaksanaan skenario pembelajaran kedua dilakukan evaluasi dan revisi untuk skenario pembelajaran pada pertemuan ketiga.
Tahap V : Pelaksanaan Tindakan dan Pemantauan. Dilaksanakan skenario pembelajaran ketiga yang telah direvisi dan hasil evaluasi dari kedua pertemuan yang sebelumnya. Dan dilakukan pengamatan oleh observer.
3) Pemantauan dan Evaluasi
Seperti telah diuraikan diatas, pemantauan dan evaluasi tindakan yang diberikan dilakukan setiap pelaksanaan Skenario Pembelajaran dan KBM dengan menggunakan instrumen yang telah divalidasi. Selanjutnya, evaluasi keseluruhan siklus dilakukan setelah KBM yang telah dilaksanakan dan diakhiri dengan evaluasi hasil belajar siswa. Selama KBM berlangsung juga dilakukan pengamatan terhadap fenomena-fenomena pembelajaran yang tak terduga terjadi pada pelaksanaan pembelajaran di kelas.
4) Analisis dan Refleksi
Setelah tahap implementasi dan evaluasi, maka dapat diperoleh suatu gambaran hasil uji coba bahan pembelajaran dan instrumen yang digunakan.

2.5 Instrumen
Dalam penelitian ini beberapa karakteristik objek penelitian yang dikaji adalah kesesuaian rancangan dengan implementasi, aktivitas yang dilakukan siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, hasil belajar siswa, respon siswa terhadap desain pembelajaran dengan metode Jigsaw.
Defenisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas siswa adalah aktivitas yang terobservasi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. (Instrumen 01)
2. Respon siswa adalah antusias siswa dan tanggapan siswa terhadap penerapan metode Jigsaw, diamati dengan menggunakan lembar observasi (Instrumen 02)
3. Hasil tes kognitif siswa berupa seperangkat tes kognitif dalam bentuk objektif tes.

2.5.1 Validasi Instrumen
Sebelum digunakan sebagai alat pengumpul data, instrumen terlebih dahulu divalidasi. Untuk instrumen 01 sampai dengan instrumen 02 dilakukan dengan meminta pendapat ahli pendidikan mengenai isi maupun redaksi ataupun bahasa/redaksi instrumen yang telah disusun.
Sebagaimana instrumen atau alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah tes kognitif (hasil belajar siswa) dengan menggunakan Pilihan Berganda (Multipel Choice) sebanyak 25 soal. Untuk kebenaran tes maka sebelum digunakan sebagai alat pengumpul data, telah diuji cobakan diluar sampel sehingga dapat diketahui validitas, realibilitas tes, tingkat kesukaran dan daya pembeda tes. Dan dari hasil validasi instrumen diperoleh sebagai berikut:
a.Validitas Soal
Berdasarkan perhitungan pada lampiran 10, dapat dilihat bahwa validitas soal yang diperoleh yaitu r terendah 0,132 dan r tertinggi 0,680. Jika nilai-nilai ini dikonsultasikan dengan r untuk sampel sebanyak 40 orang yaitu 0,312 maka ada nilai r yang lebih kecil dari r menunjukan bahwa soal tersebut menunjukkan tidak valid sebanyak 5 soal. Nilai r yang lebih besar dari r menunjukkan bahwa soal tersebut valid yaitu sebanyak 25 soal. Perhitungan selengkapnya untuk Uji validitas ini terlampir pada lampiran 10 dan 11.
b.Reliabilitas soal
Realibilitas tes secara keseluruhan diperoleh nilai r sebesar 0,909 sehingga soal dapat dikategorikan memiliki Reliabilitas yang tinggi. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 12 dan 13.
c. Taraf Kesukaran
Nilai taraf kesukaran yang diperoleh adalah sekitar 0,13 sampai dengan 0,77 sehingga soal yang dijadikan sebagai instrumen penelitian ini merupakan soal-soal yang dikategorikan mudah, sedang, sukar, (dapat dilihat pada lampiran 16).
d. Daya Pembeda
Nilai daya pembeda yang diperoleh adalah sekitar 0,27 sampai dengan 0,55 , hal ini menunjukkan bahwa soal-soal yang akan dijadikan instrumen penelitian merupakan soal yang dapat dipakai (25 soal). Secara keseluruhan nilai daya pembeda dapat dilihat pada lampiran 15.


a) Validitas Tes
Untuk mengetahui validitas tes digunakan rumus korelasi Product Moment.
=
Dimana: = Kofesien korelasi
X = Skor item
Y = Skor total
N = Banyaknya sampel
Untuk menafsir keberartian harga validitas tiap item maka harga tersebut dikonsultasikan ke tabel kritik Product Moment, dengan = 0,05 maka, jika r > r maka korelasi valid dan sebaliknya. (Arikunto, 2002).
b) Reliabilitas Tes
Untuk mencari reliabilitas alat instrumen digunakan rumus yaitu:

Dimana: = reliabilitas
n = banyaknya item soal
= rata-rata
S = standar deviasi dari tes
P = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q= 1-p)

Dengan
Dimana: Si = standar deviasi dari tes
= jumlah skor
= jumlah kuadrat skor
N = jumlah sampel
Untuk menetapkan harga reliabilitas, dari soal maka harga tersebut dikonsultasikan dengan harga kritik tabel Product Moment dengan = 0,05, jika r > r maka soal dikategorikan reliabel.


c) Tingkat Kesukaran Tes
dalam mencari taraf kesukaran soal digunakan rumus:
TK =
Dimana: U = jumlah siswa kelompok pintar yang menjawab benar
L = jumlah siswa kelompok kurang pintar yang menjawab benar
T = jumlah siswa kelompok pintar dan yang kurang pintar
sesuai dengan kriteria:
0,10 – 0,27  soal mudah
0,28 – 0,73  soal sedang
0,74 – 1,00  soal sukar
Berdasarkan perhitungan penentuan tingkat kesukaran tes (lampiran 15) diperoleh hasil sebagai berikut:
d) Daya Pembeda Tes
Dengan menggunakan rumus daya pembeda yaitu:
DP =
Untuk hasil dari daya pembeda suatu soal disesuaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Dengan kriteria:
0,00 – 0,20 jelek
0,21 – 0,40 cukup
0,41 – 0,70 baik
0,71 – 1,00 sangat baik
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Cara yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh aktivitas belajar siswa dalam KBM, dilakukan pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung oleh observer. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lembar observasi .
2. Data hasil belajar siswa diperoleh dengan cara memberikan tes.
3. Data respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran yanga didesain oleh peneliti diperoleh dengan menggunakan kuesioner.

3.7 Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian tersebut diatas, selanjutnya dianalisis yaitu:
1. Hasil observasi aktivitas belajar siswa selama KBM dan respon siswa terhadap pengelolaan pembelajaran dianalisis dengan deskriptif persentse secara kuantitatif. Aktivitas belajar siswa dinilai dari 10 item penilaian dengan rata-rata tiga pertemuan pembelajaran diskusi dan dikalikan 100 %.
2. Respon siswa terhadap pembelajaran diskusi dinilai dari jumlah setiap siswa yang menjawab setiap item dibagikan dengan jumlah seluruh siswa dan dikalikan dengan 100 %.
Hasil belajar siswa dianalisis dengan menggunakan prinsip konversi lima (Sidauruk dalam Mahyuni, 2006)










TINJAUAN AKSIOLOGI

Pengertian Aksiologi
1. Axio berasal dari bahasa yunani nilai (value), logi “ilmu, dapat disimpulkan axiology adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. (Van Cleve Morris, Akses 2007).
2. Aksiologi adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari nilai. Nilai-nilai yang dipelajari oleh axiology sebagai cabang filsafat ilmu adalah yang berkaitan dengan pengembangan dan kegunaan ilmu-ilmu itu. (Nina Winangsih Syam,Akses 2007).
3. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma social yang berlaku pada kehidupan manusia. (Wikipedia Indonesia, Akses 2007).
4. Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumatri,1999).
5. Aksiologi berasl dari kata “axios” berarti nilai dan “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.(Burhanuddin Salam, 2003).
6. Aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. (Kelompok, III, 2007).












.
I. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Dokumen perangkat pembelajaran biologi dengan menggunakan strategi kooperatif tipe Jigsaw dapat dimanfaatkan oleh guru lain sebagai bahan acuan inovasi pada pembelajaran bidang studinya masing-masing.
2. Pengalaman guru mata pelajaran biologi khususnya menerapkan strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sehingga akan bermanfaat bagi dirinya untuk dapat selalu melakukan inovasi dalam pembelajaran Biologi.
3. Pengetahuan dan pengalaman siswa tentang cara belajar berdiskusi khususnya dengan strategi kooperatif tipe Jigsaw sehingga dapat dimanfaatkan siswa untuk menggali dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan belajar untuk topik lain melalui tukar-menukar informasi dengan teman sebaya dan atau orang lain.
4. Pengalaman kepada penulis dalam menerapkan strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sehingga akan menjadi awal dari upaya inovasi dalam pembelajaran yang akan diaplikasikan kelak dalam pembelajaran dikelas.















DAFTAR PUSTAKA
Arends, R., (1997), Clssroom Instruktional and Managament, McGraw Hill Book, New York.
Arikunto, S., (2002), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Carin, A., (1993), Teaching Modern Science, Macmillan Publishing Company, New York.
Depdiknas, (2002), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Pusat Kurikulum, Balitbang, Depdiknas, Jakarta.
Ibrahim, M., Fida, R., Nur, M., dan Ismono, (2000), Pembelajaran Kooperatif, Unesa Press, Surabaya.
Ningsih, A.B., (2005), Belajar dan Pembelajaran, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Roestiyah, (1998), Strategi Belajar Mengajar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Simatupang, Z., (2003), Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Melalui Implementasi Model Strategi-Strategi Belajar, Suara Pendidikan, Vol. 21, No.3, Universitas Negeri Medan, Medan.
Wiriaatmadja, R., (2005), Metode Penelitian Tindakan Kelas, Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Untuk filsafat ilmu
Burhanuddin salam. 2003. Logika Materil filsafat ilmu pengetahuan. Rieka cipata. Jakarta.
Jujun S. Suriasumatri.1999. filsafat ilmu sebuah pengantat popular. Sinar harapan. Jakarta.
Nina Winangsih Syam.diakses 30 November 2007. Filsafat ilmu.
Van cleve morris. Diakses 03 desember 2007
Wiipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia diakses 30 November 2007.

Friendster - halim's Photos

Friendster - halim's Photos

Tuesday, December 11, 2007

Teori Belajar Kognitif

Teori Belajar Kognitif Aplikasi dalam Matematika
Teori Belajar Kognitif Aplikasinya Dalam
Pembelajaran Matematika
By: Halim Simatupang
(Mahasiswa Pasca Sarjana UNIMED)
PENDAHULUAN
Belajar diangap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun di dalam lingkungan alamiah. (Sanjaya,2006). Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.
Banyak teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku. Namun, demikian, setiap teori itu berangkat dari pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan Jhon locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
Menurut Jhon locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasanya, locke menggangap bahwa manusia itu kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik-elementeristik. Berbeda pandang dengan locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia adalah sumber daripada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah eksperesi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-holistik.
Berangkat dari konsep manusia yang berbeda, dalam menjelaskan terjadinya perilaku, kedua aliran teori belajar, yaitu aliran belajar behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holostik, memiliki perbedaan pula. Perbedaan keduanya seperti dapat dilihat dari pada table dibawah ini.
Aliran Behavioristik-elementeristik
Aliran Kognitif-holostik
Memeningkan pengaruh lingkungan
Mementingkan apa yang ada dalam diri
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan peran reaksi
Mengutamakan fungsi kognitif
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Terjadinya keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
Tergantung pada kondisi saat ini
Mementingkan pembentukan kebiasaan
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
Memecahkan masalah dilingkungan dengan cara trial end eror
Memecahkan masalah berdasarkan kepada insight
Dari uraian diatas terdapat perbedaan mencolok antara aliran belajar behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holostik berikut akan dibahas tentang aliran belajar kognitif-holistik, menurut teori belajar menurut gestalt, Bruner, Piaget.
PEMBAHASAN
1. Teori Belajar Gestalt
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah.
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana.
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah.
Parapengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat.
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.
1.1.Implementasi Pandangan Gestalt terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) = n (n +1).
Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.
2. Teori Belajar Bruner
Jerome S. Bruner adalah ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Beruner mengembangkan suatu teori belajr yagn sistematik. Yang penting baginya ialag cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari belajar. Sehingga pusat perhatian Bruner adalah masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yagn dilakukannya sesudah memperoleh informasi untuk mencapai pemahaman yagn memberikan kemampuan kepadanya.
2.1. Aplikasi teori Bruner dalam pembelajaran matematika
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan
1. Sajikan contoh dan bukan comtoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan missal: untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segilima atau lingkaran.
2. Bantu siswa belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep, misalnya berikan pertanyaan kepada siswa seperti berikut “ apakah nama bentuk ubin yang sering digunakan untk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya jelaskan cirri-ciri/sifat-sifat dari ubin tersebut ?
4. Ajak dan beri semangat siswa untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan diberi komentar terlebih dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunkan pertanyaan yagn dapat memandu siswa untuk berpikir dan mencari jawaban yagn sebenarnya
Berikut contoh penerpan teori Bruner bahwa proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu:
Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang.
1. Tahap enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam manipulasi objek.
(a)
(b)
( c)
Untuk gambar (a) ukuranya panjang = 8 satuan
Lebarnya = 1 satuan
Untuk gambar (b) ukuranya panjang = 5 satuan
Lebarnya = 2 satuan
Untuk gambar ( c) ukuranya panjang = 5 satuan
Lebarnya = 3 satuan
2. Tahap ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan siswa berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanupulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
No
Gambar persegi panjang
Luas yagn dihitung dari membilang banyak satuan persegi (l)
Banyak satuan ukuran panjang (p)
Banyak ukuran satuan lebar (l)
Hubungan antara satuan panjang dengan satuan lebar
1
……….
……….
……….
……….
2.
……….
……….
……….
……….
3
……….
……….
……….
……….
4.
……….
……….
……….
……….
3. Tahap simbolik
Dalam tahap ini siswa memanupulasi symbol-silbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek real.
Siswa diminta untuk megeneralisasikan untukmenemukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukura panjang p, ukuran lebarnya l. dan luas daerah persegi panjang L
l
P
Maka jawabanya yang diharapkan L = p x l satuan jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikalikan dengan ukuran lebar.
Dari hasil pengamatan Bruner dilapangan diperoleh kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil. Diantaranya dalil penyususunan (construction theorema), dalil notasi(notation theorema), dalil kekonstrasan dalil keanekaragaman (contras and variation theorema), dan dalil pengaitan (connectivity theorema).
a). Dalil penyusunan
Dalil ini menyatakan bahwa, siswa selalu ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, defenisi dan semacamnya. Untuk itu siswa dilatih utnuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau defenisi tertentu dalam pemikiran siswa, harus menguasai konsep dengan mencobanya dan melakukanya sendiri. Dengan demikian, konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut, maka siswa akan lebih memahami.
Apabila dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide tersebut disertai bantuan benda-benda konkret, maka siswa akan lebih mudah mengigat ide-ide yang dipelajarinya. Dalam tahap ini siswa akan memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan sebagai akibat penguatan. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar siswa kepada pengertian konsep.
Anak yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang , akan lebih memahami konsep tersebut, jika siswa tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagi contoh, untuk memperhatikan konsep perkalian, kita ambil 3 x 5. ini berarti pada garis bilangan meloncat 3 x dengan loncatan 5 satuan. Hasil loncatan tersebut diperiksa. Ternyata hasilnya 15. dengan mengulangi percobaan seperti ini siswa akan benar-benar memahami bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
b). Dalil Notasi
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental siswa. Sebagi contoh notasi untuk menyatakan fungsi
F(x) = 3x – 2
Kita menggunakan notasi
0 = (3 x ∆) – 2
Bagi siswa yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut diberikan notasi fungsi
{(x,y)y = 3x – 2 , x y ε R}
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide matematika disajikan secara sistematik dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh siswa, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dalam pengembangan konsep matematika selanjutnya.
c). Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pegubahan konsep matematika dari konsep konkret ke konsep yang lebih abstrak. Diperlukan contoh-contoh yang bayak, sehingga siswa mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Contoh yang diberikan harus sesuai dengan rumusan atau teorema yang diberikan tetapi tidak tertutup kemungkinan jika kita memberian juga contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema dengan harapan agar siswa tidak mengalami salah pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu cara pengkontrasan. Melalui cara ini siswa akan mudah memahami arti dan karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh untuk menjelaskan pengertian persegi panjang, disertai juga kemungkinan jajaran genjang dan segi empat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian siswa dapat membedakan apakah segi empat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau tidak.
Keanekaragaman juga membantu siswa dalam memahami konsep yang disajikan, dan hal ini dapat memberi
kanbelajar bermakna bagi siswa. Misalnya, unutuk memperjelas pengertian bilangan prima siswa perlu diberi contoh yang sifatnya beraneka ragam. Selain itu perlu juga diberikan contoh-contoh bilangan ganjil yang termasuk bilangan prima dan yang tidak. Kepada siswa harus diperhatikan bahwa tidak semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima. Bilangan-bilngan seperti 9, 21 dan 51, mislanya, bukan bilangan prima , sebab ketiga bilangan tersebut dapat dibagi oleh bilangan lain selain bilangan itu sendiri dan oleh satu.
d). Dalil Pengaitan
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainya, atau suatu konsep tertentu diperlakukan untuk menjelaskan konsep lainya. Misalnya konsep Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
Guru perlu mejelaskan bagaimana hubungan antara suatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainya. Melalui cara ini siswa akan mengetahui pentingnya konsep yang seang dipelajari dan memahami bagaimana kedudkan rumus atau ide yang sedang dipelajarinya itu dalam matematika. Siswa perlu menyadari bagaimana hubungantersebut, karena antara sebuah bahasan dengan bahasan matematika lainya saling berkaitan.
3. Teori Belajar Piaget
Dalam perkembangan intelektual ada tiga aspek yang diteliti Piaget, yaitu struktur, isi dan fungsi.
1. Aspek Struktur
Untuk sampai pada pengertian struktur diperlukan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan struktur, yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan perkembangan berpikir logis anak-anak. Operasi mempunyai 4 ciri yaitu yang pertama operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi, ini berarti tindakan itu baik merupakan tindakan mental maupun tindakan fisik, tanpa ada garis pemisah antara keduanya.kedua operasi bersifat reversible. Misalnya menambahkan dan menguragi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan: 2 dapat ditambah 1 untuk memperoleh 3; atau 1 dapat dikurangi dari 3 untuk memperoleh 2. ketiga operasi itu selalu tatap, walaupun selalu terjadi taranspormasi atau perubahan. Dalam proses penambahan misalnya, pasangan bilagnan dapat dikelompokkan dengan berbagai cara (5 – 1, 4 2, 3 – 3) tetapi jumlahnya tetap.keempat tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi
kanberhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi, misalnya operasi pengurangan-penjumlahan berhubungan dengan operasi klasifikasi.
2. Aspek isi
Aspek isi adalah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
3. Aspek Fungsi
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk menbuat kemajuan intelektual.
Menurut piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut
1. Sensori motor (0-2 tahun)
2. Pra-operasional (2 – 7 tahun)
3. Operasional konkret ( 7 – 11 tahun)
4. Operasional formal ( 11 tahun keatas)
1. Sensori motor (0-2 tahun)
Tingkat sesori motor menempati dua tahun pertama dalam kehidupan. Selama priode ini anak mengatur alamnya dengan indera-indera (sensori) dan tindakan-tindakan (motor). Selama priode ini bayi tidak mempunyai konsepsi “object permanence”.
2. Pra- operasional (2 - 7 tahun)
Pada priode ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental, seperti menambah dan mengurang. Tingkat operasional ini terdiri dari dua sub-tingkat sub- tingkat yang pertama 2 -4 tahun yang disebut sub-tingkat pra-logis, sub-tingkat yang kedua ialah antara 4 – 7 tahun yang disebut tingkat intuitif.
Pra-operasional lebih memfokuskan diri pada aspek statis tentang suatu peristiwa daripada transformasi dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sebagai contoh pada anak diperlihatkan contoh dua buah bola dari lilin yang sama besar. Kemudian bola yang satu diubah mejadi sosis. Lalu ditanyakan kepada si anak itu “masih samakah?” anak itu menjawab, bahwa yang berbentuk sosis lebih besar. Dalam percakapan ini anak itu mempertahankan lilin dan mengabaikan transformasi, yaitu perubahan dari bentuk bulat (bola) kebentuk sosis.
3. Operasional konkret ( 7 – 11 tahun)
Pada tingkat ini permulaan berpikir rasional. Ini berati anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertetangan antara pikiran dan persepsi, anak dalam priode operasional konkret memilih pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan konseptual seperti anak pra-operasional. Operasi-operasi penting yang dilakukan antara lain :
a. Kombinavitas atau klasifikasi adalah suatu operasional yang menggabungkan dua atau lebih kelas menjadi kelompok yang lebih besar: semua anak laki-laki + semua anak perempuan = semua anak. Hubungan seperti A > B dan B > C dapat digabungkan menjadi hubungan baru A > C. untuk pertama kalinya anak dapat membentuk berbagai hubungan-hubungan kelas, dan bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan kedalam kelas-kelas yang lain.
b. Reversibilitas merupakan kriteria utama dalam berpikir operasional dalam system Piaget, ini berati, bahwa setiap operasi logis atau matematis dapat ditiadakan dengan operasi yang berlawanan. Semua anak – semua anak perempuan = semua anak laki-laki atau 7 + 3 = 10 dan 10 – 7 = 3.
c. Asosiativitas merupakan operasi pengabungan kelas-kelas dalam urutan apa saja: (1 + 3 ) + 5 = 1 + (3+5). Dalam penalaran, operasi ini mengizinkan anak sampai pada jawaban melalui banyak cara.
d. Identitas ialah operasi dimana terdapat suatu unsure nol yang, bila digabungkan dengan unsure atau kelas manapun , tidak menghasilkan perubahan: 10 + 0 = 10. demikian pula suatu kuantitas dapat dinolkan dengan mengabungkan lawanya : 10 – 0 = 0, atau jika saya berjalan ke timur 3 km, dan kebarat 3 km, saya akan berakhir ditempat saya berangkat.
4. Tingkat Operasional Formal 11 tahun keatas)
Pada priode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama anak pada priode ini ialah bahwa tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda- benda atau peristiwa-peristiwa konkret, anak mempunyai kemampuan berpikir abstrak.contoh: umur Ani 2 kali lebih besar dari umur Glorista. Sedangkan umur Budi dikurng umur Glorista = 5 tahun. Jika umur Ani pada saat ini adalah 20 tahun berapakah umur Glorista dan Budi.
Jawab :
Misal : umur Ani = x, Umur glorista = y, Umur Budi = z
maka : y = 2 x
z – y = 5
x = 20
y = 2. 20
= 40
Z – y = 5
Z = 40 + 5
Z = 45.
DAFTAR PUSTAKA
Rana Wilis Dahar, 1989. teori-teori belajar. Penerbit Erlangga
Jakarta
Wina Sanjaya , 2006. Stategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan,kencana prenada media gropu.
Jakarta.
www.geocities.com/no_vyant/SEM_2_2/Inisiasi_Pengembangan_Matematika
diakses tanggal 3 Desember 2007.
www. akhmadsudrajat.wordpress.com/konseling/ diakses tanggal 30 November 2007
www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh diakses tanggal 30 November 2007

Sebuah Pengharapan

Sebuah Pengharapan
By; Halim Simatupang


Tuhan
Aku ini hamba Mu yang hina
yang selalu lalai akan perintah Mu
dan tak merasa berdosa masih tinggal di bumi Mu

Tuhan
Andai aku bukan aku
Andai reinkarnasi itu ada
akankah aku berubah jadi orang yang sempurna

Tuhan
Jangan jadikan aku wayang
yang ditinggal sesudah pementasan
beri aku secerca harapan dalam menekuni sebuah keyakinan

Tuhan
Isi kalbuku dengan kalimat suci Mu
seiring darah mengalir ditubuh ku
batinku hampa

Tuhan
jangan jadikan aku bahan api neraka Mu
harapanku beri kau satu tempat disurgamu
walau seberkas debu.