PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau openended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4)
memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi:(1) pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial. Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan.
Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi pebelajar. Fleksibilitas kognisi merepresentasi content dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berpikir divergen dalam proses representasi masalah.
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Cognitive tools merupakan scaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pebelajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui?” dan “apa artinya?” Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Dukungan sosial dan kontekstual diakomodasikan oleh guru-guru sejawat dan staff teknis diakomodasi untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran. Guru-guru dan staff teknis saling memberikan ide-ide pemecahannya yang dapat membantu pemecahan masalah. Model desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik didukung oleh pemodelan (modeling), coaching, dan scaffolding. Modelling berbentuk pemodelan tingkah laku untuk mendorong kinerja dan pemodelan kognitif untuk mendorong proses kognisi. Modelling difokuskan pada kinerja ekspert sebagai model. Coaching dipakai untuk mengembangkan
kinerja (performance) pebelajar yang sifatnya kompleks dan tidak jelas (unclear).
Coaching mencakup kegiatan pemberian motivasi, memonitor dan meregulasi kinerja pebelajar dan mendorong refleksi. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis dibandingkan modelling dan coaching yang difokuskan pada tugas, lingkungan belajar, guru, dan pebelajar. Scaffolding memberikan dukungan secara temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar. Scaffolding mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif (alternative assessment)
PROSES PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat dalam mendesain pendekatan problem-based learning. Proses pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).
Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993; Qin et al., 1995).
Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi pebelajar dalam
mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined
memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong pebelajar memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah 6
ini, pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki
dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar
melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban sementara
terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Pebelajar juga
melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka
dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi
yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing
and understanding) dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar
berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah 7 berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan
berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan. Pendekatan problem-based learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir (Willis & Wright, 2000). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive) (Wilson & Cole, 1996). Pembelajaran dengan pendekatan problem based-learning juga memberikan peluang bagi pebelajar untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki pebelajar (Fogarty, 1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan pendekatan problem based learning dapat menjadi wahana bagi pebelajar yang memiliki kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan masalah.
Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5 orang (Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari
permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan hasilnya
di depan kelas. Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi pebelajar berpikir untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan pebelajar berpikir secara metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, pebelajar membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat dihilangkan. De Porter et al (2001) menyatakan, dalam situasi ini pebelajar mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika pebelajar dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.
Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis.
STARTEGI PEMECAHAN MASALAH DENGAN PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (1981) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang
diperoleh. Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban.
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning. Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan problem-based learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakn secara nyata dan autentik.
PENILAIAN PADA PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNING
Penilaian pembelajaran dengan problem-based learning dilakukan dengan authentic assesment. O’Malley dan Pierce (1996) mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan pebelajar yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Marzano et al (1993) mengemukakan bahwa penilaian dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Menurut Oliver (2000) penilaian kolaboratif dalam pendekatan problem based learning dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment. Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar (Griffin dan Nix, 1991). Peer-assessment adalah penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya (Griffin dan Nix, 1991). Proses penilaian pembelajaran pemecahan masalah mencakup penilaian proses dan produk, bertolak dari langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning oleh Fogarty (1997), koheren dengan langkah-langkah penilaian autentik pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002); dan Marzano et al (1993), serta tahaptahap pemecahan masalah menurut Polya (1981) dan Dwiyogo (2000).
CIRI UTAMA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan yang autentik. multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.
Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
a. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk mempu menemukan masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukkan dugaan dan rencana penyelesaian.
b. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.
c. Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.
d. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu (Depdiknas, 2003). Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami konsep suatu materi dimulai dari belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open ended yang disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan berpikir dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.
Menurut Ismail (Ratnaningsih 2003) pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama, yaitu:
a. Orientasi siswa pada masalah dengan cara guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan cara guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok dengan cara guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya dengan cara guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan.
e. Manganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan cara guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses yang digunakan. Pada intinya pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata disajikan di awal pembelajaran. Kemudian masalah tersebut diselidiki untuk diketahui solusi dari pemecahan masalah tersebut. Menurut Torrance (1976) model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah seperti pada pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh siswa, salah satunya adalah kreativitas siswa. Situasi masalah yang disajikan dalam pembelajaran tersebut merupakan suatu stimulus yang dapat mendorong potensi kreativitas dari siswa terutama dalam hal pemecahan masalah yang dimunculkan. Kreativitas yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran berbasis masalah ini bukan hanya aspek kognitifnya saja (kemampuan berfikir kreatif) tetapi juga diharapkan melalui pembelajaran berbasis masalah tersebut dapat mengembangkan aspek non-kognitif dari kreatifitas yakni kepribadian kreatif dan sikap kreatif siswa.
bagus. bisa sy pakai acuan. terima kasih
ReplyDeleteBisa
ReplyDeletebagus pak (y)
ReplyDeleteoya, kalau boleh bertanya, kira-kira apa ya pak perbedaan PBL dengan PBI ?
terimakasih.
bagus. kalau boleh tau perbedaan PBL dengan PCL apa yah pak?
ReplyDelete